Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SRA (Satuan pendidikan Ramah Anak): Apa dan Mengapa Urgent?

SRA (Satuan Pendidikan / Sekolah Ramah Anak)
Apa dan mengapa 'SRA' penting?

Pendahuluan

Komitmen Negara kita Republik Indonesia untuk menjamin pemenuhan hak Pendidikan anak ditunjukkan dalam Pasal 28 ayat (1) Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh negara kita dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, menyebutkan bahwa semua anak mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan Pendidikan. Kemudian pada Pasal 29 ayat (1) menekankan bahwa pendidikan bertujuan untuk pengembangan kepribadian, bakat, kemampuan mental dan fisik anak hingga mencapai potensi sepenuhnya; pengembangan sikap menghormati hak-hak asasi manusia; pengembangan sikap menghormati kepada orang tua, kepribadian budaya, bahasa, dan nilai-nilai; penyiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab dalam suatu masyarakat dalam semangat saling pengertian, tenggang rasa, kesetaraan gender, dan persahabatan antar semua bangsa, suku, agama, termasuk anak dari penduduk asli; dan pengembangan rasa hormat pada lingkungan alam.

Selanjutnya pada Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 juga disebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Pengaturan dalam Konstitusi ini secara operasional telah ditindaklanjuti dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”. Serta ditindaklanjuti dalam Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa “Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

Inilah semua yang kemudian mendasari pemerintah membuat suatu kebijakan perlindungan anak di satuan pendidikan yang dinamakan Satuan Pendidikan Ramah Anak (SRA). SRA adalah suatu bentuk kerjasama menyeluruh Kementerian/Lembaga dan termasuk Kementerian/Lembaga yang mempunyai program berbasis satuan pendidikan secara bersama sama melindungi anak di satuan pendidikan, yaitu: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristekristek), Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemen Kominfo), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KemenLHK), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Beberapa program terkait SRA, yang telah dan sementara dijalankan oleh kementerian/lembaga pemerintah antara lain, misalnya:

  1. Program Sekolah Adiwiyata dari KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan).
  2. Program Sekolah Inklusif, Penguatan Pendidikan Karakter, Sekolah Sahabat Keluarga, Gerakan Nasional Orang Tua Membaca Buku (Gernas Baku), Program Sekolah Aman dan Sekolah sebagai Taman, dan Program Indonesia Pintar (PIP) dari Kemendikbudristek.
  3. Program Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), Kantin Sehat, Kawasan Sekolah Tanpa Rokok, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), dan Sekolah Bebas NAPZA dari Kemenkes.
  4. Program Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) dan Piagam Bintang Keamanan Pangan Kantin Sekolah (PBKPKS) dari BPOM.
  5. Program Pusat Informasi Konseling Remaja (PIK-R) dari BKKBN.
  6. Program Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) Goes to School dari Kementerian Sosial.
  7. Pembentukan Relawan anti Narkoba dari BNN.
  8. Program Sekolah/Madrasah Aman Bencana (SMAB) dari BNPB.
  9. Program Internet Sehat dan Aman (INSAN) dari Kemenkominfo.
  10. Program Polisi Sahabat Anak, Polisi Cilik, Cara Aman dan Selamat Bersekolah dari Kepolisian Republik Indonesia.
  11. Program Satuan Pendidikan Ramah Anak dan Disiplin Positif dari Kemen PPPA.

Apa itu SRA?

Dari berbagai paparan diatas maka bisa didefinisikan bahwa Satuan Pendidikan Ramah Anak atau yang disingkat SRA adalah Satuan Pendidikan formal, non formal dan informal yang mampu memberikan pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak termasuk adanya mekanisme pengaduan dalam penanganan kasus di satuan pendidikan. SRA dikembangkan dengan harapan untuk memenuhi hak dan melindungi sepertiga hidup anak (8 jam dalam satu hari) selama mereka berada di satuan pendidikan. SRA adalah perubahan paradigma untuk menjadikan orang dewasa di satuan pendidikan menjadi orang tua dan sahabat peserta didik dalam keseharian mereka berinteraksi di satuan pendidikan, sehingga komitmen agar satuan pendidikan menjadi SRA adalah komitmen yang sangat penting dalam menyelamatkan hidup anak.

Konsep SRA

Di dalam Ada 4 konsep SRA yaitu :

  1. Mengubah pendekatan /paradigma kepada peserta didik dari pengajar menjadi pembimbing, orang tua dan sahabat anak.
  2. Memberikan teladan perilaku yang benar dalam interaksi sehari hari di satuan pendidikan
  3. Memastikan orang dewasa di satuan pendidikan terlibat penuh dalam melindungi anak dari ancaman yang ada di satuan pendidikan; dan
  4. Memastikan orang tua dan anak terlibat aktif dalam memenuhi 6 (enam) komponen SRA.

Tahapan Pembentukan & Pengembangan SRA

Pembentukan dan pengembangan SRA disebut dengan T3MU MESRA yaitu “TIGA MU” (MAU, MAMPU, dan MAJU) Menuju Satuan Pendidikan Ramah Anak. Proses “Pembentukan SRA” berada pada tahapan MAU dan proses “Pengembangan SRA” berada pada tahapan MAMPU dan MAJU. Secara singkat dapat digambarkan dalam bagan “T3MU MESRA” sebagai berikut:

Tahapan Pembentukan & Pengembangan SRA
Tahapan Pembentukan & Pengembangan SRA
Untuk lebih jelasnya dapat diterangkan sebagai berikut :

Tahap Pembentukan

SRA dibentuk dari satuan pendidikan yang sudah ada. Proses agar satuan pendidikan “MAU” menjadi SRA dilakukan oleh pemerintah daerah melalui tahapan berikut:

  • Sosialisasi SRA. Sosialisasi SRA dilakukan oleh pemerintah daerah melalui Sekber SRA atau sub-Gugus Tugas KLA klaster pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya di provinsi/ kabupaten/ kota.
  • Permintaan kepada Satuan Pendidikan untuk “MAU” menjadi SRA
  • Penetapan SK SRA. Pemerintah daerah membuat SK yang ditetapkan oleh Kepala Daerah atau Kepala Perangkat Daerah terkait untuk semua satuan pendidikan yang “MAU” memulai proses SRA.
  • Deklarasi SRA. Dalam rangka memperkuat komitmen daerah dan satuan pendidikan, maka dilakukan deklarasi yang dipimpin oleh Kepala Daerah atau Perangkat Daerah terkait bersama semua satuan pendidikan yang mau menjadi SRA.
  • Pemasangan Papan Nama SRA.

Tahap Pengembangan

Proses pengembangan SRA adalah kelanjutan dari proses pembentukan, dimana satuan pendidikan yang telah “MAU” menjadi SRA harus mendapatkan penguatan agar menjadi “MAMPU” dan bahkan “MAJU” dalam memenuhi 6 komponen SRA. Adapun proses pengembangan dilakukan oleh dua pihak yaitu pemerintah daerah melalui Sekber SRA atau sub-Gugus Tugas KLA Klaster 4 dan satuan pendidikan itu sendiri dibantu oleh Fasilitator Nasional SRA. Berikut uraian proses pengembangan yang dilakukan oleh kedua belah pihak tersebut :

Tahapan pengembangan SRA oleh pemerintah daerah

  1. Advokasi. Sekber SRA/ Sub-Gugus Tugas KLA Klaster Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, Dan Kegiatan Budaya melakukan advokasi dengan cara audiensi kepada Kepala Daerah di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota, agar mendukung pelaksanaan SRA.
  2. Pelatihan atau Bimbingan Teknis. Proses penguatan satuan pendidikan dalam memenuhi komponen SRA dilakukan melalui pelatihan atau bimbingan teknis oleh kepala daerah kepada seluruh satuan pendidikan tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan dalam SK SRA oleh pemerintah daerah. Materi pelatihan atau bimbingan teknis yang diberikan antara lain mengenai KHA, SRA, Implementasi SRA dan Pendisiplinan sesuai kaidah KHA ataupun materi lain yang dianggap perlu. Selain itu dapat juga dilakukan pendampingan bagi satuan pendidikan oleh fasilitator SRA yang ada di daerah tersebut atau oleh satuan pendidikan yang sudah memenuhi 6 komponen SRA secara benar (“MAJU”). Kegiatan ini difasilitasi oleh perangkat daerah terkait.
  3. Fasilitasi. Proses penguatan satuan pendidikan dan mendorong untuk memenuhi komponen SRA secara benar, dilakukan oleh perangkat daerah dalam bentuk pendanaan, pelaksanaan program ataupun kegiatan, dan pemberian bantuan sarana prasarana.

Tahapan pengembangan SRA oleh satuan pendidikan

Tahapan pengembangan SRA selain dilakukan oleh pemerintah daerah, dilakukan juga oleh satuan pendidikan melalui:

  1. Pembentukan Tim Pelaksana SRA. Tim Pelaksana SRA dapat dibentuk baru atau dikembangkan dari tim yang telah ada seperti Tim Pelaksana UKS atau Adiwiyata. Tim Pelaksana SRA ditetapkan dengan SK Kepala Satuan Pendidikan dengan keanggotaannya melibatkan unsur orang tua dan peserta didik. Tim Pelaksana SRA memiliki tugas: (a) mengidentifikasi potensi, kapasitas, kerentanan, dan ancaman di satuan pendidikan untuk mengembangkan SRA dengan menggunakan instrumen yang telah ada; (b) mengoordinasikan berbagai upaya pengembangan SRA; (c) melakukan sosialisasi pentingnya SRA; (d) menyusun dan melaksanakan perencanaan SRA; dan (e) melakukan pemantauan dan evaluasi proses pengembangan SRA.
  2. Penyusunan ulang tata tertib satuan pendidikan dan mengisi daftar periksa potensi bersama orang tua dan anak. Proses pengembangan SRA dimulai dengan menyusun tata tertib dengan menggunakan kalimat positif dan tidak mengandung unsur pelanggaran hak anak atau lebih berperspektif hak anak. Setelah itu, dilakukan pengisian daftar periksa potensi (lampiran 1) untuk mengetahui potensi yang dimiliki oleh satuan pendidikan dalam mengembangkan SRA. Pengisian daftar periksa potensi dilakukan oleh tiga pelaku utama dalam SRA yaitu wakil dari satuan pendidikan, orang tua, dan peserta didik. Hasil dari daftar periksa potensi menjadi dasar dari penyusunan rencana kegiatan dalam mengembangkan SRA di satuan pendidikan tersebut.
  3. Perencanaan. Perencanaan disusun oleh Tim Pelaksana SRA sesuai hasil daftar periksa potensi untuk merencanakan kegiatan yang diperlukan dalam memenuhi komponen SRA dan mengintegrasikannya dalam kebijakan, program, dan kegiatan yang sudah ada atau melakukan inovasi berupa rencana kerja satuan pendidikan. Perencanaan kegiatan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi serta kemampuan satuan pendidikan dan dilakukan secara bertahap.
  4. Pelaksanaan. Pelaksanaan dilakukan oleh Tim Pelaksana SRA dengan mengoptimalkan semua sumber daya yang ada dan melibatkan peserta didik, orang tua, alumni, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, organisasi kemasyarakatan, dan dunia usaha.

Jika satuan pendidikan telah memenuhi 6 komponen SRA melalui proses pengembangan melalui berbagai kegiatan penguatan sebagaimana disebutkan dan juga telah mendapatkan pendampingan serta fasilitasi dari pemerintah daerah melalui Sekber SRA atau Sub-Gugus Tugas KLA Klaster 4, maka satuan pendidikan tersebut berada dalam tahapan “MAJU” dan siap membantu mengimbaskan SRA ke satuan pendidikan lainnya di daerah, serta dapat diajukan untuk mendapat penghargaan dan salah satu guru atau kepala satuan pendidikannya diajukan menjadi fasilitator SRA.

Demikianlah uraian singkat ini, semoga bermanfaat!😀🙏 Postingan ini berseri, tunggu lanjutannya di edisi berikutnya!😁🙏

Sumber informasi : SRA, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan, Kemen PPPA RI, 2021

Untuk info lebih detail silahkan unduh di👇😀

Posting Komentar untuk "SRA (Satuan pendidikan Ramah Anak): Apa dan Mengapa Urgent?"